Makna Natal
“Natal merupakan sukacita bagi keluarga
karena Sumber Sukacita memilih hadir di dunia melalui keluarga. Sang Putera
Allah menerima dan menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga.
Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat
pada Allah sampai mati di kayu salib. Di situlah Allah yang selalu beserta kita
turut merasakan kelemahan-kelemahan kita dan kepahitan akibat dosa walaupun ia
tidak berdosa (bdk. Ibr. 4:15)…
“…
Natal: Undangan Berjumpa dengan Allah dalam Keluarga. Natal adalah saat
yang mengingatkan kita akan kehadiran Allah melalui Yesus dalam keluarga….
Dalam keluarga di mana Yesus hadir, yang letih disegarkan, yang lemah
dikuatkan, yang sedih mendapat penghiburan, dan yang putus asa diberi
harapan…
“Marilah
kita menghadirkan Allah dan menjadikan keluarga kita sebagai tempat layak untuk
kelahiran Sang Juru Selamat. Di situlah keluarga kita menjadi rahmat dan berkat
bagi setiap orang; kabar sukacita bagi dunia.”
Menyimak Pesan
Natal PGI dan KWI tersebut, jelaslah bahwa Perayaan Natal adalah acara
keagamaan yang sarat dengan ajaran pokok kekristenan, yaitu pengakuan
Yesus sebagai Tuhan. Natal bukan sekedar perayaan sosial dan
budaya. Kaum Kristen meyakini bahwa Yesus Kristus adalah anak Tuhan yang
menjelma menjadi manusia, seperti mereka katakan: “Sang Putera Allah menerima dan
menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga. Melalui keluarga itu
pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati
di kayu salib.”
Itulah makna Natal
bagi kaum Kristen di Indonesia. Jadi, perayaan Natal secara terbuka dan
besar-besaran di mana-mana, sejatinya adalah penyiaran dan kampanye ajaran
Kristen, bahwa Yesus adalah Putra Tuhan. Bahwa, Tuhan mempunyai anak, yaitu
Yesus Kristus. Dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen
Gentium, 14)
yang disahkan pada 21 November 1964, dalam Konsili Vatikan II, di Roma,
menegaskan:
”Karena
satu-satunya Perantara dan jalan keselamatan adalah Kristus, yang hadir di
antara kita di dalam Tubuhnya yaitu Gereja… Oleh karenanya tidak dapat
diselamatkan orang-orang itu, yang walaupun tahu bahwa Gereja Katolik didirikan
oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang diperlukan,
toh tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya.” (Terjemah oleh Dr. J.
Riberu, Dokpen MAWI, 1983).
Inti ajaran
Kristen adalah konsep “Pemyaliban” dan “Kebangkitan” Yesus. Manusia yang tidak
mengakui Yesus sebagai Tuhan atau anak Tuhan, harus disadarkan dan diusahakan
untuk dibaptis. Dokumen Ad
Gentes juga
mendesak Konsili Vatikan II mendesak:
“Landasan karya
misioner ini diambil dari kehendak Allah, Yang “menginginkan bahwa semua
manusia diselamatkan dan mengakui kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula
Perantara antara Allah dengan menusia yaitu Manusia Kristus Yesus, Yang
menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang (1 Tim 2:4-6), “dan tidak
ada keselamatan selain Dia” (Kisah 4:12). Maka haruslah semua orang berbalik
kepada Dia, Yang dikenal lewat pewartaan Injil, lalu menjadi anggota Dia dan
Anggota Gereja, yang adalah Tubuhnya, melalui pemandian… Oleh sebab itu, karya
misioner dewasa ini seperti juga selalu, tetap mempunyai keampuhannya dan
tetap diperlukan seutuhnya). (Lihat, Walter M. Abbott (gen.ed.), The Documents of Vatican II,
hal. 593. Naskah terjemah di kutip dari Tonggak
Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 377-478).
Dalam pidato tanggal
7 Desember 1990, yang berjudul Redemptoris
Missio (Tugas
Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II
mengatakan:
“Tugas
perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat
jauh dari penyelesaian. Tatkala Masa Seribu Tahun Kedua sesudah kedatangan
Kristus hampir berakhir, satu pandangan menyeluruh atas umat manusia
memperlihatkan bahwa tugas perutusan ini masih saja di tahap awal, dan bahwa
kita harus melibatkan diri kita sendiri dengan sepenuh hati…Kegiatan misioner
yang secara khusus ditujukan “kepada para bangsa” (ad gentes) tampak sedang
menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan
petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan pernyataan-pernyataan Magisterium
sesudahnya. Kesulitan-kesulitan baik yang datang dari dalam maupun yang datang
dari luar, telah memperlemah daya dorong karya misioner Gereja kepada
orang-orang non-Kristen, suatu kenyataan yang mestinya membangkitkan kepedulian
di antara semua orang yang percaya kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja,
gerakan misioner selalu sudah merupakan tanda kehidupan, persis sebagaimana
juga kemerosotannya merupakan tanda krisis iman.”
Berdasarkan
Dokumen-dokumen Resmi Gereja tersebut, jelas terlihat besarnya tugas yang
diemban kaum Kristen dalam menjalankan misinya kepada orang-orang non-Kristen.
Itulah yang ditegaskan oleh Paus Paulus VI dalam imbauan apostolik, Karya
Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), pada
8 Desember 1975, yang diterbitkan KWI tahun 1990:
“Pewartaan
pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk
agama-agama bukan Kristen….Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan
“benih-benih Sabda” yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu
“persiapan bagi Injil” yang benar… Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman
sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama
tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai
suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada
orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa
orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.”
Post a Comment